Kaisar China Terusir dari Istana, Dibui & Jadi Tukang Kebun

Foto: Puyi, Kaisar China ke-12 dari Dinasti Qing. (Ist)

Bisa dibayangkan betapa nikmatnya menjadi orang nomor satu di negara monarki absolut. Orang tersebut pasti bakal dihormati, hidup nyaman di istana, dan pastinya bergelimang harta.

Setidaknya itulah yang ada di benak keturunan Kaisar China. Salah satunya adalah Puyi, Kaisar China ke-12 dari Dinasti Qing. 

Sejak diangkat sebagai penguasa di usia 2 tahun, orang-orang bisa memproyeksikan nikmatnya kehidupan Puyi seumur hidup. Akan tetapi, hidup Puyi rupanya tak senikmat pendahulunya.

Di tengah jalan, Puyi harus terusir dari istana dan berakhir tragis. Hidup sebagai tahanan dan tukang kebun.

Bagaimana bisa?

Puyi memang menjadi kaisar di usia sangat muda, yakni 2 tahun. Namun, dia berkuasa pada waktu yang tidak tepat.

Saat itu, tahun 1908, suara nasionalisme dan reformis anti kekaisaran mulai digaungkan masyarakat. Posisi Puyi sedikit terancam.

Akan tetapi, sebagai anak kecil, dia tak tahu atas kondisi tersebut. Dia tetap hidup sebagai kaisar dan menikmati berbagai keistimewaan.

Kaya raya dan dihormati. Semua ini terus berlangsung sampai dia tumbuh besar dan membuatnya menjadi anak manja.

Pada 1911, di usia Puyi ke-5, gelombang reformasi sukses membuat kekaisaran China luluh lantak. Pada titik, kekuasaan Puyi pun berakhir, sekaligus menandai pemerintahan monarki China yang berumur ribuan tahun. 

Hanya saja, Puyi belum terusir dari istana. Kelompok reformis masih merestuinya tinggal di istana bersama anggota keluarga lain.

Alhasil, pria kelahiran 1906 itu masih hidup mewah. Bahkan, dia juga bertindak seenaknya seakan-akan dirinya masih jadi raja. 

Dalam From Emperor to Citizen (1961), dia bercerita sering memukuli para kasim. Aksi ini makin menjadi-jadi tatkala kasim-kasimnya bikin ulah.

Namun, tindakan keji ini masih membuat Puyi “selamat” sebab masih dianggap penguasa. Posisinya yang berada di ‘tepi jurang’ baru terjadi pada 1924.

Kelompok militer anti-dinasti pimpinan, Feng Yuxiang, sukses mengusir anak berusia 18 tahun dari istana di Beijing. Meski begitu, hidup Puyi tak luntang-lantung karena dirinya mencari suaka di Jepang dan secara mengejutkan menjadi Kaisar Manchukuo di bawah kuasa Jepang pada 1934.

Dalam paparan penulis biografi Puyi, Edward Samuel Behr di The Last Emperor (1987), keputusan Puyi mau menjadi Kaisar Manchukuo membuat elit China memandangnya sebagai pengkhianat. Ia bahkan didesak harus mendapat hukuman.

Benar saja, saat Jepang kalah di Perang Dunia II pada 1945, Puyi menjadi target utama dan langsung ditahan oleh sekutu China, Rusia. Penahanan ini membuat hidup Puyi berakhir.

Dari semula kaisar kaya raya, ia pun menjadi rakyat biasa. Dirinya hanya berdiam diri di balik jeruji besi. 

Selama penahanan militer sama sekali tak mengistimewakannya. Dia diberlakukan sama seperti tahanan perang lain.

Pada titik ini, Puyi mengaku takut dihukum mati. Sebab, pemerintah baru China di bawah Mao Zedong dipercaya bakal menghabisi nyawanya. 

Sampai akhirnya ketakutan tersebut sirna tatkala dirinya kembali ke China. Mao Zedong tak menghabisi nyawanya.

Malah, Puyi diberi sebidang tanah dan rumah di Beijing. Tapi dengan syarat, dia setia kepada komunisme dan meninggalkan mental sewaktu dia jadi kaisar.

Dia pun menurutinya. Setelahnya, Puyi hidup seperti orang biasa.

Tak ada kemewahan yang diberikan negara. Dia tak lagi makan dari sendok emas dan hidup seorang diri tanpa pembantu. 

Untuk mendapat uang, sang Kaisar China terakhir itu harus bekerja sebagai tukang kebun di kebun milik pemerintah. Semua itu dijalani Puyi sampai dirinya meninggal pada 17 Oktober 1967.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*