
Demonstrasi besar-besaran tengah melanda Bangladesh. Protes ini meletus karena kemarahan mahasiswa mengenai sistem kuota pegawai pemerintah yang memprioritaskan para keluarga veteran perang.
Meski demikian, para analis meyakini protes terhadap sistem kuota itu hanyalah puncak gunung es dari permasalahan di negara Asia Selatan tersebut. Ketimpangan sosial, kondisi perekonomian setelah Covid-19 dan banyaknya korupsi ditengarai menjadi penyebab sebenarnya krisis sosial ini.
“Protes tersebut adalah tentang rasa frustasi yang dirasakan banyak orang mengenai pertumbuhan ekonomi yang tidak merata, dan adanya kesenjangan yang besar serta korupsi,” kata Direktur Program Asia di International Crisis Group, Pierre Prakash dikutip darinytimes.com, Selasa, (23/7/2024).
Jika ditarik ke belakang, perekonomian Bangladesh sebenarnya sempat tumbuh pesat karena berkembangnya industri garmen. Pertumbuhan ekonomi yang pesat dalam beberapa dekade terakhir itu berhasil mengangkat jutaan warga Bangladesh dari kemiskinan.
Meski demikian, pertumbuhan ekonomi yang kencang itu tak dibarengi dengan pemerataan kekayaan. Pandemi Covid-19 yang datang belakangan membuka wajah sebenarnya dari perekonomian Bangladesh yang timpang.
Ketika permintaan global terhadap produk tekstil menurun, penciptaan lapangan kerja pun ikut berkurang. Tingkat pengangguran di kalangan muda melonjak diikuti oleh inflasi yang tinggi setiap tahun.
Berkaca dari peristiwa di Bangladesh, berikut ini merupakan perbandingan data-data ekonomi antara Bangladesh dan Indonesia dalam beberapa tahun terakhir.
Pertumbuhan Ekonomi
Menurut data Bank Dunia, Produk Domestik Bruto (PDB) Bangladesh tercatat bernilai US$ 437,42 miliar pada tahun 2023. Nilai PDB Bangladesh mewakili 0,41 persen perekonomian dunia.
Didukung perkembangan industri garmen, perekonomian Bangladesh melesat pada 2019 dengan mencatat rekor pertumbuhan PDB 8,15% year-on-year. Akan tetapi, pertumbuhan yang pesat itu langsung merosot ketika pandemi Covid-19 melanda dunia pada 2020.
Pada 2020, perekonomian Bangladesh terkontraksi dan hanya mampu mencapai tingkat pertumbuhan 3,15%. Ekonomi perlahan bangkit dan pada 2021, Bangladesh kembali mencatatkan pertumbuhan ekonomi sebesar 5,47%. Pada 2022, pertumbuhan ekonomi kembali melesat di angka 7,25% dan pada 2023 mencapai 6,12%. Pada 2024, perekonomian negara ini diperkirakan mampu tumbuh 5%.
Sementara itu, Indonesia memiliki nilai PDB tiga kali lipat lebih besar dari Bangladesh, yakni US$ 1.371,17 pada tahun 2023. Nilai PDB Indonesia mewakili 1,30 persen perekonomian dunia.
Pada 2014 hingga 2019, Indonesia hanya mampu mencatatkan pertumbuhan ekonomi rata-rata 5% per tahun. Ketika pandemi merebak pada 2020, ekonomi Indonesia terkontraksi hingga minus 2,07%. Dua tahun kemudian, perekonomian Indonesia kembali pulih di level 5%. Pada kuartal I 2024, pemerintah mencatat pertumbuhan sebesar 5,11%.
Inflasi
Tingkat inflasi di Bangladesh tergolong sangat tinggi hampir selalu menyentuh level 10%. Pada Juni 2024 misalnya, tingkat inflasi Bangladesh menyentuh angka 9,72%. Sementara pada Mei 2024, Bangladesh mencatatkan rekor inflasi tertingginya di level 9,89%. Penyumbang inflasi terbesar di Bangladesh adalah kelompok makanan dan minuman yang berkontribusi lebih dari 10% kepada inflasi; lalu perumahan dan utilitas; serta transportasi dan pakaian.
Di sisi lain, Indonesia mencatatkan tingkat inflasi yang relatif stabil sepanjang 2024. Inflasi tertinggi tercatat pada Maret yakni 3,05% yoy. Tingkat inflasi itu terus menurun hingga akhirnya pada Juni tercatat 2,51% yoy. Penyumbang inflasi pada Juni yang terbesar adalah kelompok makanan dan minuman; lalu sektor perumahan, kesehatan dan restoran.
Pengangguran
Bangladesh adalah negara dengan 170 juta lebih penduduk. Akibat Covid-19, tingkat pengangguran sempat melonjak ke level 5,3% dari total penduduk pada 2020. Tingkat pengangguran baru bisa ditekan pada 2022 kembali ke level 4,3% dari jumlah penduduk.
Adapun Indonesia adalah negara dengan penduduk 273 juta jiwa. Tingkat pengangguran di Indonesia pada masa pandemi Covid-19 melonjak mencapai 7,07% pada kuartal III 2020. Dengan persentase itu, berarti ada 9,77 juta warga yang tidak memiliki pekerjaan.
Tingkat pengangguran pada 2023 juga masih relatif tinggi di angka 5% atau 7,99 juta orang menganggur. Pada kuartal I 2024, tercatat jumlah pengangguran di Indonesia berada pada angka 4,82%.
Ketimpangan
Ketimpangan menjadi pekerjaan rumah yang besar bagi Bangladesh. Jurang antara si kaya dan si miskin ini disebut sebagai pemicu pecahnya kerusuhan di Bangladesh. Gini ratio di Bangladesh tercatat naik dari tahun ke tahun. Gini ratio digunakan untuk mengukur tingkat ketimpangan pengeluaran masyarakat. Semakin tinggi koefisien gini, semakin tinggi pula ketimpangan di suatu wilayah.
Pada 2010, gini ratio Bangladesh baru mencapai 0,458. Ketimpangan itu tercatat semakin tinggi pada 2016 dengan skor 0,482. Lalu pada 2022, jurang itu semakin melebar dengan skor 0,499.
Sementara itu, Badan Pusat Statistik mencatat pada Maret 2023, gini ratio di Indonesia mencapai 0,388. Gini ratio di Indonesia pada Maret 2023 tersebut, naik dari 0,381 pada September 2022 dan 0,384 pada Maret 2022. Naiknya tingkat ketimpangan itu bahkan melebihi kondisi sebelum pandemi di mana pada September 2019, Gini ratio mencapai 0,380.
Utang
Bangladesh mencatatkan tingkat rasio utang terhadap PDB (debt to GDP Ratio) sebesar 29,1% pada 2023. Angka itu sedikit naik dari 2022 yang sebesar 28,2%. Namun, rekor utang Bangladesh sebenarnya telah terjadi pada 2012 yang mencapai 31,8%.
Utang Indonesia mulai melonjak pesat akibat pandemi covid-19. Sebelumnya pada 2019, tingkat rasio utang terhadap PDB RI masih berada di level 30,6%. Pada 2020, tingkat utang itu melonjak menjadi 39,%. Pada April 2024 Indonesia mencatatkan rasio utang terhadap PDB mencapai 38,71%.